Senin, 28 Juli 2008

Peranan Zakat dalam Mengentaskan Kemiskinan

I. Pendahuluan
Masalah kemiskinan merupakan salah satu momok dalam kehidupan baik bagi individu maupun bagi masyarakat dan negara. Rasulullah SAW juga pernah mengingatkan : “Hampir-hampir kemiskinan itu menjadikan seseorang kufur.” (HR. Abu Nu’aim).
Kemiskinan dapat digolongkan dalam kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Kemiskinan struktural disebabkan oleh kondisi struktur perekonomian yang timpang dalam masyarakat, baik karena kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan faktor-faktor produksi oleh segelintir orang, monopoli, kolusi antara pengusaha dan pejabat dan lain-lainnya. Intinya kemiskinan struktural ini terjadi karena faktor-faktor buatan manusia. Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor budaya atau mental masyarakat yang mendorong orang hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi secara alami, antara lain yang disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
Dari ketiga katagori kemiskinan tersebut, pada dasarnya kemiskinan berpangkal pada masalah distribusi kekayaan yang timpang dan tidak adil. Karena itu Islam menekankan pengaturan distribusi ekonomi yang adil agar ketimpangan di dalam masyarakat dapat dihilangkan. Firman Allah SWT, “… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …” (QS. Al-Hasyr : 7).
Zakat merupakan bentuk nyata solidaritas sosial dalam Islam. Dengan zakat dapat ditumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk saling menolong di antara anggota masyarakat, sekaligus menghilangkan sifat egois dan individualistik. Zakat telah direalisasikan secara nyata dan sukses dalam sejarah Islam, sampai-sampai pernah tak ditemukan lagi orang-orang fakir yang berhak mendapat zakat. Yahya bin Sa’id, seorang petugas amil zakat pada masa Umar bin Abdul Aziz (w. 122 H), menuturkan,”Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengutusku untuk mengumpulkan zakat orang Afrika. Lalu aku menariknya dan aku minta dikumpulkan orang-orang fakirnya untuk kuberi zakat. Tapi ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan itu yang mengambilnya.” (Ulwan, 1985:2, As-Siba’i, 1981:392)[1]
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat (Yusuf Qardlawi dalam Al-Ibadah fi Al-Islam, 1993 :235).
Artikel ini mencoba untuk menguraikan analisis mengenai zakat dan peranannya di dalam mengembangkan perekonomian nasional, khususnya pengentasan kemiskinan. Adapun struktur penulisan artikel ini, di samping pendahuluan, juga mencakup analisis garis kemiskinan menurut islam, menggali potensi zakat dalam peningkatan penerimaan zakat, mengungkap potensi zakat barang tambang. Kemudian makalah ini diakhiri dengan kesimpulan dan saran.
II. Garis Kemiskinan Menurut Islam
Di Indonesia, penyaluran dana zakat ke kelompok fakir dan miskin tidaklah mudah. BAZ dan LAZ tidak boleh begitu saja menggunakan data kemiskinan resmi yang ada dalam pendayagunaan dana zakat. Hal ini karena data kemiskinan yang ada memiliki sejumlah masalah.
Permasalahan basis data kemiskinan di Indonesia bersumber dari dua hal pokok. Pertama, ketiadaan garis kemiskinan yang fair dan well defined. Ketiadaan hal ini membuat data kemiskinan yang dikeluarkan BPS sering dipertanyakan banyak pihak, karena garis kemiskinan BPS sangat konservatif dan sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan.
Kedua, data kemiskinan yang dikeluarkan BPS adalah data agregat (nasional) yang merupakan hasil estimasi dari sampel. Data seperti ini tidak bisa digunakan sebagai basis program pengentasan kemiskinan yang well design dan targeted yang membutuhkan basis data yang akurat tentang siapa dan di mana orang miskin itu berada.
Sebagai misal, untuk program JPS dan raskin pemerintah mempergunakan data BKKBN yang relatif lebih jelas karena berbasis data populasi walaupun kriterianya sangat kualitatif serta cenderung diragukan objektivitasnya. Sedangkan untuk penyaluran dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) di tahun 2006, pemerintah meminta BPS untuk membangun data kemiskinan baru yang memiliki 14 kriteria.
Di sini kita melihat inkonsistensi pemerintah dalam mempergunakan data kemiskinan. Untuk evaluasi kebijakan, pemerintah mempergunakan data kemiskinan versi BPS, yang cenderung rendah karena garis kemiskinan yang sangat konservatif. Namun untuk implementasi kebijakan, pemerintah mempergunakan data BKKBN atau membangun basis data baru yang angkanya jauh lebih tinggi, dan implisit, jauh lebih menggambarkan kondisi nyata.
Contohnya, untuk implementasi program BLT yang bertujuan meredam dampak kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005, BPS membangun data baru berbasis rumah tangga dengan 14 kriteria. Dan hasilnya, jumlah rumah tangga miskin penerima BLT adalah 19,2 juta rumah tangga.
Jika kita asumsikan secara moderat setiap rumah tangga miskin memiliki 4 anggota, maka jumlah orang miskin pasca kenaikan BBM 1 Oktober 2005 adalah 76,8 juta jiwa (34,91 persen). Jika setiap rumah tangga kita asumsikan memiliki 5 anggota, maka angka kemiskinan akan melonjak lebih tinggi lagi menjadi 96 juta jiwa (43,64 persen). Hal ini sejalan dengan data Bank Dunia yang mempergunakan batas garis kemiskinan berupa penghasilan 2 dolar AS per hari, menghasilkan jumlah orang miskin di tahun 2006 adalah 107,8 juta (49,0 persen). Bandingkan dengan jumlah orang miskin resmi versi BPS per Maret 2006 yang hanya 39,05 juta jiwa (17,75 persen).
Dengan definisi kemiskinan sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan dan bukan makanan, BPS mendapatkan garis kemiskinan senilai Rp 152.847 per kapita per bulan untuk mendapatkan jumlah orang miskin 39,05 juta jiwa per Maret 2006.
Apakah BAZ dan LAZ dapat menerima garis kemiskinan resmi versi BPS ini? Jika menerima, maka konsekuensinya adalah jika ada orang yang mengaku berpenghasilan lebih dari Rp 152.847 per bulan, maka ia bukan dianggap orang miskin yang berhak menerima zakat. Jika seorang kepala rumah tangga yang menanggung kebutuhan hidup 3 anggota keluarga, mengaku berpenghasilan lebih dari Rp 611.388 per bulan, ia dianggap tidak miskin.
Maka, bila melihat definisi fakir dan miskin dalam konteks penerima zakat, sulit bagi kita menerima garis kemiskinan versi BPS ini. Kita membutuhkan definisi dan garis kemiskinan baru dalam konteks penyaluran dana zakat, khususnya kepada golongan fakir dan miskin. Kita sebut saja ia adalah garis kemiskinan Islam. Dalam fikih Islam, fakir dan miskin adalah mereka yang tidak memiliki harta dan usaha sama sekali atau memiliki harta dan usaha namun tidak bisa memenuhi kebutuhan. Lalu, bagaimana kita mendefinisikan kebutuhan dalam Islam?
Dr. Yusuf Qaradhawi mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan yang semestinya tercukupi bagi setiap orang Islam adalah jumlah makanan dan air (HR Bukhari dan Muslim), pakaian yang menutup aurat (QS 7:26, 16:5,81), tempat tinggal yang sehat (QS 16:80, 24:27), sejumlah harta untuk pernikahan (QS 16:72, 30:21), sejumlah harta untuk mencari ilmu (HR Ibnu Majah), sejumlah harta untuk berobat jika sakit (HR Ahmad), dan kelebihan harta untuk ibadah haji (QS 3:97). Jika kita bisa menyepakati hal ini, kita dapat bergerak membentuk garis kemiskinan Islam.
Dengan adanya garis kemiskinan Islam, BAZ dan LAZ dapat membentuk basis data kemiskinan baru untuk penyaluran dana zakat. Dengan demikian, penyaluran zakat diharapkan lebih tepat sasaran, khususnya untuk fakir dan miskin. Dalam jangka panjang, hal ini merupakan langkah awal yang strategis dalam membangun data kemiskinan Islam yang akurat.
Di tataran makro, garis kemiskinan Islam ini juga akan berfungsi sebagai alat evaluasi alternatif untuk menilai keberhasilan program pengentasan kemiskinan pemerintah. Hal ini juga menjadi sangat relevan mengingat Islam adalah agama mayoritas di negeri ini. Dengan jumlah penduduk mayoritas, maka isu kemiskinan seharusnya menjadi isu utama umat Islam. Jika data kemiskinan versi Islam ini tersedia, maka umat Islam dapat mengetahui perkembangan kesejahteraan mereka dari waktu ke waktu. Ke depan, pengumpulan data kemiskinan oleh BPS seharusnya dapat juga mengakomodasi pengumpulan data terkait dengan kepentingan penyaluran zakat dan pembentukan garis kemiskinan Islam ini.[2]
III. Menggali Potensi Zakat dalam Meningkatkan Penerimaan Zakat
Setelah mengetahui batasan atau garis kemiskinan yang akurat menurut Islam. Perlu ada peningkatan dalam penerimaan zakat. Seperti kita ketahui, Zakat memiliki potensi yang menjanjikan bagi perekonomian, namun dampak zakat tersebut baru akan terasa pada tingkat yang diharapkan jika dana zakat terkumpul dalam jumlah yang cukup signifikan.
Kemiskinan di negara-negara muslim adalah tinggi, sehingga dibutuhkan dana pengentasan kemiskinan yang besar, berkisar antara 0,3 hingga 107,7 persen dari PDB untuk masing-masing negara. Malangnya, penerimaan zakat selalu lebih rendah dari potensi-nya. Sebagai misal, penerimaan zakat di negara-negara Muslim yang mewajibkan pembayaran zakat, tidak lebih dari 0,6% PDB. Penerimaan zakat di Arab Saudi hanya 0,4-0,6% dari PDB, di Yaman tidak lebih dari 0,4% PDB, di Pakistan tidak lebih dari 0,3% PDB, dan di Sudan 0,3-05% PDB. Padahal potensi penerimaan zakat di negara-negara tersebut mencapai 3,1%-6,2% (Kahf, 1999).
Di Indonesia sendiri, pengumpulan zakat memiliki dasar hukum yang kuat namun tidak ada kewajiban dan sanksi bagi pelanggaran. Pengumpulan dana zakat walau terus meningkat dari waktu ke waktu, namun masih jauh dibawah potensi-nya. Rendahnya penerimaan zakat di Indonesia setidaknya disebabkan karena dua hal pokok: rendahnya kesadaran wajib zakat dan rendahnya kepercayaan terhadap BAZ-LAZ.
Sebagai contoh, semua lembaga zakat di Indonesia tahun 2005, hanya mampu menghimpun sekitar Rp 250 miliar. Rata-rata per bulan, hanya Rp 12.5 miliar, jumlah tersebut juga sudah termasuk infak sedekah dan wakaf.
Jika dikupas lebih jauh, komposisi dana ini bisa jadi cermin karakter muslim Indonesia. Pertama dari data yang ada, 80% lebih perolehan dana rutin lembaga zakat berasal dari zakat. Kedua infak sedekah lebih mudah terhimpun, jika terjadi bencana alam. Namun penyumbang terbesar dana kemanusiaan seperti ini, lebih banyak berasal dari berbagai perusahaan. Yang kebanyakan tak dimiliki muslim. Ketiga yang memperjelas karakter muslim Indonesia, zakat yang dihimpun, separuhnya terjadi di bulan Ramadhan.
Kita coba analisa lebih mendalam tentang potensi zakat di Indonesia yang begitu besar. Jumlah penduduk Indonesia 220 juta orang, yang 80% dihuni muslim. Total dibulatkan 180 juta jumlahnya. Jika separuh muslim diasumsikan miskin, berarti ada 90 juta yang kaya. Dari jumlah itu, berapa yang jadi muzaki? Lalu berapa zakat yang tertunai? Saat ini ada tiga pendapat yang sering diacu seputar potensi zakat. Pendapat pertama, saat menjabat Menteri Agama, Said Agil Munawar menyatakan potensi zakat sekitar Rp 7 triliun per tahun. Pendapat kedua, PIRAC yakin zakat mencapai Rp 9 triliun. Pendapat ketiga, PBB UIN menegaskan per tahun zakat bisa terhimpun di angka Rp 19,3 triliun. Sedangkan menurut Jamal Do’a (mantan Anggota DPR) menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia adalah 93,295 Trilyun pertahun.
Dari semua pendapat itu, kalkulasi hitung-hitungannya masih belum jelas. Kini kita coba rinci. Jumlah 90 juta muslim kaya adalah data perorangan. Data jiwa ini harus dijadikan keluarga. Asumsikan dalam satu keluarga, diisi 3 anak dan ibu bapak. Bagikan angka 90 juta jiwa dengan 5 anggota keluarga. Maka kini ada 18 juta keluarga muslim kaya di Indonesia. Dari jumlah itu, kita coba kalkulasikan kekuatan zakatnya. Katakan ada tiga potensi, yang tergambar sebagai Potensi Bawah, Potensi Menengah dan Potensi Ideal. Ketiga potensi tersebut ditabelkan sebagai berikut.
Tabel 1
Potensi Bawah (terburuk)Zakat Rp 50.000 per bulan
Prosentase
J U M L A H
M u z a k i
(orang)
B u l a n
(Rupiah)
T a h u n
(Rupiah)
10%
1.8 juta
90 miliar
1.08 triliun
20%
3.6 juta
180 miliar
2.16 triliun
30%
5.4 juta
270 miliar
3.24 triliun
40%
7.2 juta
360 miliar
4.32 triliun
50%
9 juta
450 miliar
5.4 triliun
60%
10.8 juta
540 miliar
6.48 triliun
70%
12.6 juta
630 miliar
7.56 triliun
80%
14.4 juta
720 miliar
8.64 triliun
90%
16.2 juta
810 miliar
9.72 triliun
100%
18 juta
900 miliar
10.8 triliun

Asumsi Potensi Bawah, dilandaskan pada penunaian zakat yang Rp 50.000 per bulan. Itu 2.5% dari penghasilan muzaki yang Rp 2 juta per bulan. Dan seperti tertera di tabel, Potensi Bawah mencatat zakat terkecil berkisar Rp 90 miliar per bulan. Total setahun terhimpun Rp 1.08 triliun. Yang perlu digarisbawahi, jumlah ini hanya 10% dari 90 orang kaya muslim. Selebihnya yang 81 juta, merupakan muslim kaya yang belum mau jadi muzaki. Jika yang kaya mau berubah pikiran jadi muzaki, per bulan akan terhimpun zakat Rp 900 miliar. Setahun terhimpun Rp 10.8 triliun. Sebuah jumlah yang tak sedikit dari hitungan Potensi Bawah.
Tabel 2
Potensi Menengah
Zakat Rp 100.000 per bulan
Prosentase
J U M L A H
M u z a k i
(orang)
B u l a n
(Rupiah)
T a h u n
(Rupiah)
10%
1.8 juta
180 miliar
2.16 triliun
20%
3.6 juta
360 miliar
4.32 triliun
30%
5.4 juta
540 miliar
6.48 triliun
40%
7.2 juta
720 miliar
8.64 triliun
50%
9 juta
900 miliar
10.8 triliun
60%
10.8 juta
1.08triliun
12.96 triliun
70%
12.6 juta
1.26triliun
15.12 triliun
80%
14.4 juta
1.44 triliun
17.28 triliun
90%
16.2 juta
1.62 triliun
19.44 triliun
100%
18 juta
1.8 triliun
21.6 triliun

Potensi Menengah ini didasarkan pada kewajiban zakat Rp 100.000 per bulan. Berarti penghasilan muzaki berkisar Rp 4 jutaan. Dari tabel 2 tampak himpunan zakat terkecil mencapai Rp 180 miliar per bulan. Total setahun Rp 2.16 triliun. Lantas, jika 81 juta muslim kaya mau berderma Rp 100 ribu, per bulan zakatnya Rp 1.8 triliun. Setahun mencapai zakat Rp 21.6 triliun. Sebuah angka yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Tabel 3
Potensi Ideal
Zakat Rp 150.000 per bulan
Prosentase
J U M L A H
M u z a k i
(orang)
B u l a n
(Rupiah)
T a h u n
(Rupiah)
10%
1.8 juta
270 miliar
3.24 triliun
20%
3.6 juta
540 miliar
6.48 triliun
30%
5.4 juta
810 miliar
9.72 triliun
40%
7.2 juta
1.08 triliun
12.96 triliun
50%
9 juta
1.35 triliun
16.2 triliun
60%
10.8 juta
1.62 triliun
19.44 triliun
70%
12.6 juta
1.89 triliun
22.68 triliun
80%
14.4 juta
2.16 triliun
25.92 triliun
90%
16.2 juta
2.43 triliun
29.16 triliun
100%
18 juta
2.7 triliun
32. 4 triliun

Landasan Potensi Ideal adalah zakat Rp 150.000 per bulan. Ini angka wajib bagi muzaki yang berpenghasilan Rp 6 jutaan. Dari 10% pembayarnya, terkumpul Rp 270 miliar per bulan. Setahunnya tercapai angka Rp 3.24 triliun. Lantas juga seperti di harapan sebelumnya, andai 81 juta muslim kaya mau bayar zakat, terhimpun angka Rp 2.7 triliun per bulan yang akan menggelembung jadi Rp 32.4 triliun per tahun. Dengan ini telah terbukti, bahwa Islam memang telah menyiapkan solusi untuk penanggulangan kemiskinan (Social Entrepreneur, Selasa 28/08/2007).
Bila kita melihat realita sekarang, terjadi kesenjangan potensi dan kondisi riel zakat di Indonesia. Angka di tiga tabel di atas sungguh amat fantastis. Hanya dengan Rp 150 ribu, total 18 juta orang kaya muslim menyumbang Rp 32 triliun. Per bulan Rp 150 ribu artinya identik dengan menyisihkan uang Rp 5.000 per hari. Bagi orang kaya muslim, angka itu tentu amat ringan. Himpunan zakat juga makin fantastik jika muzaki berzakat di atas Rp 150 ribu per bulan.
Bila kita bandingkan, zakat yang Rp 250 miliar setahun, hanyalah seperempat dari perolehan Rp 1 triliun. Angka satu triliun di tabel 1, berada di peringkat terbawah dari Potensi Bawah. Angka riel Rp 250 miliar yang terhimpun, tidak masuk dalam daftar Potensi Bawah. Lalu, di mana sesungguhnya posisi muslim kaya Indonesia? (Eri Sudewo, Republika/06)
Mungkin masih segar dalam ingatan kita, Majalah Forbes Asia’s 2007 menobatkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie dan keluarga sebagai orang terkaya di Indonesia. Seperti dilansir Majalah Forbes Asia’s, Kamis (13/12), tahun ini Aburizal Bakrie dan keluarganya memiliki kekayaan 5,4 miliar dollar AS, meningkat beberapa kali lipat dari tahun 2006 sebesar 1,2 miliar dollar AS. Tahun lalu, Bakrie ditempatkan Forbes di urutan ke-6 dalam daftar orang terkaya. Kontribusi terbesar kekayaan keluarga Bakrie berasal dari anak perusahaan Bakrie Group, produsen batubara Bumi Resources yang nilai sahamnya melonjak. Apabila sebagian kecil kekayaan itu dialokasikan untuk korban lumpur Lapindo, yang juga anak perusahaan Bakrie, korba-korban bencana alam, orang-orang fakir miskin yang membutuhkan uluran tangan, sudah pasti akan meringankan beban mereka.
IV. Potensi Zakat Barang Tambang (Rikaz)
Jumlah kekayaan alam untuk manusia lebih dari mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya.
Sebagai contoh : Potensi zakat barang tambang (rikaz) yang sangat menjanjikan. Hal ini karena : (i) rikaz meliputi semua harta yang tersimpan dan terpendam di dalam tanah; (ii) tidak memperhitungkan nisab; (iii) tidak ada haul; dan (iv) siapapun yang menemukan, baik muslim ataupun non-muslim, wajib mengeluarkan zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 410-413; Sabiq, terj., 1996, Jilid3, hal 73-78). Tarif zakat barang tambang bervariasi antara 2,5%, 5%, 10%, dan 20% sesuai dengan perbandingan antara barang yang dihasilkan dengan usaha dan biaya yang dihabiskan. Semakin sedikit tingkat kesulitan, semakin besar tarif zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 417-423).
Indonesia adalah penghasil terbesar ke-dua di dunia untuk timah, ke-empat untuk tembaga, ke-lima untuk nikel, ke-tujuh untuk emas, dan ke-delapan untuk batu bara (World Bank, 2005). Belum lagi jika kita pertimbangkan juga minyak dan gas bumi yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia.
Tambang emas, perak, dan tembaga di Papua, yang saat ini ada di bawah cengkeraman PT Freeport Indonesia di Irian Jaya. Jika tambang tersebut dikelola dengan amanah atas dasar pola pemanfaatan milik umum, bukan atas dasar pola pemanfaatan milik swasta (pribadi), niscaya akan menghasilkan banyak kemaslahatan bagi umat.
Sebagai gambaran, antara Januari-Desember 2000, hasil penjualan konsentrat emas, tembaga, dan perak oleh PT Freeport Indonesia ke-11 negara (India, Jepang, Korea, Filipina, Bulgaria, Finlandia, Spanyol, Swedia, Brasil, Kanada dan Indonesia sendiri) mencapai angka 1.732.398.605 dolar AS (Suara Merdeka on line, 25 September 2001). Dengan asumsi 1 dolar AS = Rp 9000,- maka hasil penjualan itu nilainya sekitar Rp. 15,6 triliun. Suatu angka yang luar biasa besar. Jika kita bandingkan dengan penghematan akibat pencabutan subsidi BBM tahun 2003 ini sebesar Rp. 17,2 triliun, maka dengan mengandalkan hasil penjualan konsentrat dari Papua tersebut, ditambah sedikit dana lagi dari sumber lainnya, umat akan terbebas dari penderitaan yang menyedihkan akibat naiknya BBM.
Contoh lainnya adalah hasil penjualan minyak bumi yang cukup fantastis dari beberapa lokasi penambangan minyak. Tabel berikut menyajikan nilai produksi per hari dari 3 lokasi ladang minyak, yaitu Seno Barat, Belanak, dan Riau.

Ladang Minyak
Seno Barat
Belanak (Natuna Barat)
Riau
Total
Kapasitas Produksi Per Hari
60.000 barel
100.000 barel
60.000 barel
220.000 barel
Nilai Produksi Per Hari
2.040.000 dolar AS
3.400.000 dolar AS
2.040.000 dolar AS
7.480.000 dolar AS (220.000*24)
Dikuasai Oleh
Exxon-Mobil dan Unocal (AS).
Conoco (AS)
Caltex (AS)

Tabel 1. Kapasitas dan Nilai Produksi Minyak Bumi dari Tiga Lokasi Ladang Minyak.
Sumber : Petromindo 23, 25, 26 & 29/Jan/01, Jakarta Post 30/Nov/00, 21/Dec/00, 26/Jan/01; Business Times 19/Jan/01; Indonesian Observer 22/Sep/00; MinergyNews.Com 22/Sep/00. (Dihimpun dalam Buletin Down to Earth, No. 48, Pebruari, 2001). Asumsi Perhitungan : 1 barel = 34 dolar AS ( data 22/01/03).
Dari tiga lokasi ladang minyak saja, untuk satu hari saja, dihasilkan dana hasil penjualan sebesar 7.480.000 dolar AS. Jika diasumsikan 1 dolar AS = Rp 9000,- maka nilainya sekitar 67,32 miliar rupiah per hari. Jika 1 tahun dimisalkan ada 310 hari kerja, maka selama 1 tahun akan diperoleh = 310 x 67,32 miliar = Rp 20,9 triliun. Bayangkan kalau jumlah ini saja (Rp 20,9 triliun) ditambah jumlah hasil penjualan konsentrat sebesar Rp 15,6 triliun, maka akan didapatkan dana 36,5 triliun. Belum tambang-tambang lainnya. Dengan dana sebesar itu, hanya diambil sebagian kecil dari total keseluruhan untuk dizakati, sudah cukup untuk mencegah kerusakan sosial dan ekonomi akibat naiknya BBM tahun 2003.[3]
Banyak sekali potensi-potensi zakat dari sumber-sumber lain selain barang tambang –namun tidak sebesar barang tambang--seperti zakat uang. Ulama kontemporer memandang bahwa uang kertas wajib dikeluarkan zakat-nya sebagaimana uang emas-perak, yaitu 2,5% (Qardawi, terj., 1988, hal 266-270; Sabiq, terj., 1996, Jilid3, hal 33). Jika dioptimalkan, potensi zakat uang adalah signifikan. Namun perlu dipertimbangkan aspek fiqh, yaitu bahwa non-muslim tidak wajib zakat dan harta haram, seperti kekayaan yang diperoleh dari riba, tidak wajib zakat (Qardawi, terj., 1988, hal 131-133). Jika potensi hanya dari perbankan syariah, maka potensi zakat uang ini akan menyusut drastis.
V. Kesimpulan dan Saran
Banyak sekali potensi zakat yang dapat dimanfaatkan untuk bisa menolong masyarakat keluar dari kemiskinan. Potensi yang sangat besar itu dapat dirasakan manfaatnya bila semua pihak saling mendukung satu sama lain. Muzakki sadar akan kewajibannya dalam membayar zakat, dan memiliki pola pikir dan mentalitas yang memandang zakat bukan hanya berfungsi menyucikan jiwa, namun bisa membantu memberdayakan masyarakat ekonomi lemah. Pihak mustahiq al-zakat dapat memanfaatkan zakat yang diterimanya sebagai modal kerja, sehingga mendorong penciptaan lapangan kerja baik melalui penciptaan pekerjaan dengan upah tetap maupun dengan menumbuhkan wirausahawan. Sedangkan pihak amil seperti LAZ dan BAZ menjalankan amanah dari muzakki untuk menyalurkan dana zakat dengan menggunakan standar yang sudah ditetapkan oleh Islam dengan peran serta pemerintah.
Sudah begitu banyak potret kering kehampaan yang menghitamkan bangsa ini sebagai akibat dari bentuk kemiskinan. Penyebab kemiskinan yang angkanya masih demikian tinggi tersebut tidak lain dikarenakan terbatasnya kesempatan berusaha, rendahnya kemampuan masyarakat miskin dalam melakukan kegiatan ekonomi produktif, ketidakjelasan garis kemiskinan sehingga terjadi ketimpangan dalam distribusi zakat, terbatasnya akses terhadap faktor‑faktor produksi seperti modal, pasar serta kepemilikan aset, rendahnya kepemilikan harta, rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, air dan udara bersih, lemahnya tata pemerintahan dan lemahnya perlindungan sosial terhadap masyarakat.
Bangsa ini harus serius untuk melihat dengan cermat mencari jalan keluar mengatasi kemiskinan. Diawali dengan cara mewujudkan tatanan ekonomi yang memungkinkan lahirnya sistem distribusi yang adil, mendorong lahirnya kepedulian dari orang-orang kaya terhadap kaum fakir, miskin, serta kesadaran untuk meningkatkan kualitas diri, etos kerja dan sikap optimisme terhadap perubahan kehidupan. Salah satunya ialah transformasi kesadaran kesediaan sepenuhnya untuk membayar zakat.
Harus ada gerakan pencerdasan dalam memaksimalkan gerakan zakat. Dalam keadaan musibah, masyarakat Indonesia di setiap lini menjadi masyarakat pemurah, harusnya tidak berhenti dengan permasalahan kemiskinan lainnya.
Lembaga pengelola ZIS juga harus memikirkan pendistribusian dana kearah konsumtif menjadi produktif. Sosialisasi zakat haruslah lebih progressif dan lebih gencar lewat media massa, TV, radio. Dan yang terlebih penting dalam sosialisasi efektifnya adalah di masjid (tempat-tempat ibadah dan sosial), hal ini adalah tugas dari da’i/penceramah untuk menyakinkan masyarakat muslim akan pentingnya ZIS. Terlebih-lebih pada saat pelaksanaan khutbah Jum’at bagi khatib untuk selalu memprioritaskan gerakan-gerakan zakat (aktual) dalam khutbahnya, utamanya zakat tidak dipahami hanya pada akhir Ramadhan jelang awal Syawal. Tetapi tetap seterusnya 11 bulan masih ada sedeqah, infak, maupun wakaf.
Jika hal di atas sudah terbangun, terutama pada muslim kaya untuk “mengerem” sedikit saja keperluan aksesorisnya dan ditukar dalam bentuk lain yang lebih strategis dan bermanfaat bagi umat, maka hasilnya akan sangat luar biasa. Wallahu a’lam.

2 komentar:

diana mengatakan...

terima kasih tulisan pak ilham telah menginspirasikan saya untuk meneliti lebih jauh tentang peranan zakat bagi ekonomi rakyat.
sumber referensi bacaan mohon dimunculkan, karena saya tertarik untuk membuat artikel tentang zakat untuk peningkatan penguasaan faktor produksi masyarakat miskin

diana mengatakan...

terima kasih tulisan pak ilham telah menginspirasikan saya untuk meneliti lebih jauh tentang peranan zakat bagi ekonomi rakyat.
sumber referensi bacaan mohon dimunculkan, karena saya tertarik untuk membuat artikel tentang zakat untuk peningkatan penguasaan faktor produksi masyarakat miskin