Senin, 28 Juli 2008

Zakat Hasil Laut; Antara Khilafiah Ulama

Zakat merupakan bentuk nyata solidaritas sosial dalam Islam. Dengan zakat dapat ditumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk saling menolong di antara anggota masyarakat, sekaligus menghilangkan sifat egois dan individualistik. Zakat telah direalisasikan secara nyata dan sukses dalam sejarah Islam, sampai-sampai pernah tak ditemukan lagi orang-orang fakir yang berhak mendapat zakat. Yahya bin Sa’id, seorang petugas amil zakat pada masa Umar bin Abdul Aziz (w. 122 H), menuturkan,”Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah mengutusku untuk mengumpulkan zakat orang Afrika. Lalu aku menariknya dan aku minta dikumpulkan orang-orang fakirnya untuk kuberi zakat. Tapi ternyata tidak ada seorang pun dari kalangan itu yang mengambilnya.” (Ulwan, 1985:2, As-Siba’i, 1981:392)[1]
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat (Yusuf Qardlawi dalam Al-Ibadah fi Al-Islam, 1993 :235).
Dalam artikel ini, penulis memfokuskan pembahasan tertentu. Artikel ini mencoba untuk menguraikan analisis mengenai khilafiah zakat, terutama zakat harta. Dalam literatur klasik, zakat harta terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, harta yang disepakati wajib dizakati. Kedua, harta yang diperselisihkan wajib zakat padanya. Ketiga, harta yang disepakati tidak wajib zakat padanya.
Harta yang wajib dizakati dari harta lahir, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, dan buah-buahan. Sedangkan dari harta yang tersembunyi, seperti emas, perak dan barang perniagaan. Harta benda yang menjadi perselisihan wajib zakat adalah; 1) emas dan perak yang menjadi pakaian, 2)Ma’din (logam) yang selain dari emas dan perak, 3) Benda-benda yang dihasilkan dari dalam laut, 4)Barang perniagaan, 5)Binatang yang diberi makan dan dipekerjakan, 6)Kuda, 7)Madu, 8)Buah-buahan selain dari gandum, sya’ir, dan tamr (kurma), 9)Anggur kering. Sedangkan harta yang tidak wajib zakat adalah setiap harta yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga atau hanya untuk disimpan bukan untuk diperdagangkan.[2]
Pendapat Ulama Tentang Zakat Hasil Laut
Kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut dan memiliki nilai ekonomis seperti mutiara, ambar, marjan, dll. Ulama masih banyak yang berbeda pandangan tentang wajib atau tidaknya zakat untuk setiap yang dihasilkan dari laut. Dr. Wahbah Al-Zuhaili dalam kitab Fikhul Islam Wa Adillatuhu menjelaskan bahwa tidak ada zakat terhadap segala sesuatu yang dihasilkan dari laut seperti mutiara, ambar, marjan, termasuk ikan. Menurut Ibnul Mundzir, Umar bin Abd. Azis, Az-Zuhri, Abu Yusuf, dan Ishaq Ibn Rawahah, mereka menyatakan bahwa ambar diwajibkan zakat sebesar 1/5, sedangkan az-Zuhri menambahkan mutiara. Abdullah Hasan al-Anbari menyatakan bahwa setiap yang dihasilkan dari laut wajib zakat selain ikan.
Menurut Imam Ahmad (dalam satu riwayatnya) menyatakan bahwa wajib zakat bagi semua yang dikeluarkan dari laut, termasuk ikan bila sampai satu nishob.[3] Sedangkan Abu Yusuf mewajibkan zakat sebesar 1/5 bagi semua yang dihasilkan dari laut.[4] Namun untuk lebih ihtiyat (kehati-hatian) ulama menganjurkan untuk ikut Imam Ahmad.
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Jumhur ulama berpendapat bahwa hasil laut, baik berupa mutiara, merjan (manik- manik), zabarjad (kristal untuk batu permata) maupun ikan, ikan paus, dan lain-lainnya, tidak wajib dizakati. Namun Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) berpendapat bahwa hasil laut wajib dikeluarkan zakatnya apabila sampai satu nisab. Pendapat terakhir ini nampaknya sangat sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang ini karena hasil ikan yang telah digarap oleh perusahaan-perusahaan besar dengan peralatan modern menghasilkan uang yang sangat banyak. Nisab ikan senilai 200 dirham (672 gram perak). Mengenai zakat hasil laut ini memang tidak ada landasannya yang tegas, sehingga di antara para ulama sendiri terjadi perbedaan pendapat. Namun jika dilihat dari surah al-Baqarah ayat 267:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”
Jelas bahwa setiap usaha yang menghasilkan uang dan memenuhi syarat, baik nisab maupun haulnya, wajib dikeluarkan zakatnya. Adapun waktu mengeluarkan zakatnya sama seperti tanaman, yaitu di saat hasil itu diperoleh.
Kewajiban zakat atas rikaz, ma’din dan kekayaan laut ini dasar hukumnya adalah keumuman nash dalam QS Al Baqarah, 2 : 103:
Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui.
Dan al-Baqarah: 267
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”
Aplikasi Zakat Hasil laut dan Perikanan
Jika seorang nelayan atau perusahaan pengolah hasil laut menangkap ikan kemudian hasil tersebut dijual, maka dia wajib mengeluarkan zakat seperti zakat niaga yaitu 2½% demikian itu bila hasilnya telah sampai se-nishab seperti nisabnya mata uang. Suatu contoh: Suatu perusahaan penangkap ikan menghasilkan satu ton, kemudian dijual kepada konsumen seharga Rp.4.000.00,-, berapa zakat yang harus di bayar.
Zakatnya: Rp.4.000.000,- x 25/1000 = Rp.100.000,-
Ma’din adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam perut bumi, baik padat maupun cair seperti emas, perak, tembaga, minyak, gas, besi sulfur dan lainnya. Besar zakat yang harus dikeluarkannya sama dengan rikaz yaitu seperlima. Namun mengenai nisabnya ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Pendapat yang lebih kuat dan didukung oleh Yusuf Qardhawi adalah bahwa rikaz tetap harus memenuhi persyaratan nisab, baik yang dimiliki oleh individu maupun negara. Demikian juga hasil yang dikeluarkan dari laut seperti mutiara, marjan, dan barang berharga lainnya, nisabnya dianalogkan dengan zakat pertanian. Kategori yang kedua adalah zakat berdasarkan modal dan hasil yang didapat dari modal tersebut. Untuk zakat ini mengikuti persyaratan haul, yaitu berlaku satu tahun.
Kesimpulan
Semua ulama sepakat bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dari laut wajib zakat. Dan sebagian ulama berbeda pandangan tentang wajib tidaknya ikan dalam zakat. Namun perlu di garis bawahi untuk dijadikan acuan adalah pendapat Imam Ahmad yang juga memasukkan ikan dalam zakat, dan banyak ulama yang menganjurkan kita untuk mengikuti pendapat Imam Ahmad untuk lebih kehati-hatian. Artinya harta-harta yang kita dapat dari eksplorasi laut dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat dengan mewajibkan zakat. Dan yang paling penting adalah bagaimana sekiranya harta kita bersih dengan mengeluarkan zakat termasuk zakat ikan. Wallahu a’lam.
[1] M. Shiddiq al-Jawi, Reinterpretasi Alokasi Zakat : Mengkaji Ulang Mekanisme Distribusi Zakat dalam Masyarakat Modern. January 11th, 2004 in Arsip E-Syariah.
[2] Al-Muhalla 5: 209
[3] Syarh al-Muhadzdzab 6: 7; Ithaf 4: 51
[4] Ithaf 4: 5

Tidak ada komentar: